banner 120x600 banner 120x600

Ekonomi Biru Ciptakan Peluang Cuan Potensial Sekaligus Melindungi Laut

Panen rumput laut yang dilakukan pembudidaya seaweed (rumput laut) di Desa Kutuh, Kuta Selatan, Bali. Sebagai ilustrasi [desakutuh.badungkab.go.id]

sitepontianak.com – Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa Pemerintah menyadari betul pentingnya menjaga ekosistem laut dan memastikan sektor maritim dan perikanan bergerak dengan dasar berkelanjutan.

Dikutip dari kantor berita Antara, dalam “Dialog G20 Global Blended Finance Alliance” di Bali, yang membahas Sustainable Freshwater and Ocean Wealth, Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan policy Indonesia adalah blue economy.

“Ada lima policy, yang paling penting memperkuat marine protection area position khususnya di sektor konservasi. Karena konservasi ini menjadi penting karena di dalamnya ada tiga muatan: yang pertama serapan karbon, yang kedua sebagai produksi oksigen, ketiga pemijahan secara alami,” jelas Sakti Wahyu Trenggono.

Blue economy atau ekonomi biru menjadi program andalan Pemerintah Indonesia untuk mendorong keberlanjutan lautan Nusantara. Termasuk di dalamnya adalah perluasan kawasan konservasi, penangkapan ikan terukur, pengembangan akuakultur yang berkelanjutan, pengawasan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pembersihan laut dari sampah plastik dengan keterlibatan nelayan.

Ekonomi biru menjadi dasar pembuatan kebijakan, penelitian dan inovasi teknologi, serta pengembangan industri di Indonesia. Terutama untuk mencapai kelestarian laut, menjaga kekayaan laut, serta kemakmuran lewat laut.

“Implementasi ekonomi biru harus memastikan kualitas dan kesehatan ekosistem laut, pesisir, dan pulau kecil dapat terjaga dari ancaman termasuk degradasi akibat tekanan dari sektor ekonomi,” tandas Sakti Wahyu Trenggono.

Pemerintah memastikan aspek konservasi perairan terus dilakukan. Salah satunya terlihat lewat peningkatan luas kawasan konservasi laut konsisten terjadi sejak 2015-2022.

Pada 2015, data Kementerian Kelautan dan Perikanan memperlihatkan luas kawasan konservasi 17,3 juta hektare, yang meningkat menjadi 28,91 juta hektare pada 2022.

Pemerintah mentargetkan 32,5 juta hektare ditetapkan menjadi kawasan konservasi perairan pada 2030 dan lebih jauh ingin mencapai 30 persen lautan Indonesia menjadi area perlindungan pada 2045.

Namun, di saat bersamaan Indonesia juga mendorong pembangunan tata kelola perairan yang berkelanjutan. Sementara di sisi lain, tengah terjadi kesenjangan pendanaan.

Beberapa program saat ini tengah didorong Pemerintah untuk menjawab tantangan. Antara lain Blue Halo S yang diluncurkan Pemerintah Indonesia bersama Green Climate Fund, Conservation International, dan Konservasi Indonesia pada 2022.

Program tadi menjajaki pendekatan pembiayaan berkelanjutan untuk memaksimalkan manfaat iklim, keanekaragaman hayati, ekonomi, dan penghidupan dari ekonomi laut Indonesia.

Direktur Divisi Mitigasi dan Adaptasi Green Climate Fund Dr. German Velasquez menyampaikan harapannya untuk kesuksesan model program itu. Utamanya karena mampu menjadi model yang diterapkan tidak hanya di Indonesia namun belahan dunia lainnya.

Kemudian berbicara soal pesisir, Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan dengan tujuan mendorong kelestarian ekologi sekaligus memastikan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya perkembangan pemanfaatan rumput laut yang bisa didukung pendanaan campuran.

Alternatif mata pencaharian diperlukan demi menghindari ekstraksi berlebihan sebagai bagian dari perwujudan ekonomi biru.

“Seaweed (rumput laut) menjadi salah satu fungsi penyangga untuk kawasan konservasi, keanekaragaman hayati bisa jalan terus. Jadi sebenarnya proses perjalanan mengapa seaweed dibudidayakan adalah dari paradigma pelestarian alam, dan pemanfaatan alam dan kesempatan lapangan pekerjaan,” jelas Meizani Irmadhiany, Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia.

Berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan Konservasi Indonesia bersama tim Universitas Nusa Cendana terkait industri rumput laut di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 2023 industri pengolahan rumput laut lokal memiliki potensi keberlanjutan yang baik. Yaitu dengan pasokan bahan baku terjaga dan dapat dilakukan pembudi daya sendiri.

Budidaya komoditas “emas hijau di lautan” ini tidak memerlukan siklus panen yang lama, sekitar 45 hari untuk dapat memanen hasil. Juga memiliki masa pengembalian siap panen kembali secara cepat.

Pada tingkat rantai pasok, budidaya rumput laut juga dapat dilakukan semua lapisan masyarakat dan keluarga.

Termasuk pembudidayaan yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk mendorong kesejahteraan keluarga.

Victor Nikijuluw, Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia menuturkan bahwa rumput laut memiliki potensi luar biasa untuk mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir. Sekaligus mendorong mereka untuk menjaga ekosistem, mengingat pembudidayaannya memerlukan lingkungan yang baik.

Sumber: Suara.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *