banner 120x600 banner 120x600banner 120x600 banner 120x600

Indonesia Termasuk Negara Terendah dalam Hal Ketersediaan Obat-obatan Inovatif

Diskusi Layanan Kesehatan Bersama IPMG di Jakarta Convemtion Center, Jumat (10/11) (Dok.Istimewa)

sitepontianak.com – Ketersediaan obat inovatifobat baru yang berkualitas tinggi, berkhasiat, dan aman, merupakan aspek penting dalam menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif dan berkualitas bagi masyarakat.

Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan No. 17 tahun 2023, yang menekankan perlunya meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan memastikan keterjangkauan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk peningkatan akses terhadap obat-obatan.

Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D, hal tersebut juga masuk ke dalam Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC) sebagai fondasi dari sistem layanan kesehatan yang kuat dan berketahanan yang juga telah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2014.

“Pada 1 September 2023, tingkat cakupannya telah mencapai sekitar 94,64 persen dari total populasi Indonesia. Ini adalah sebuah pencapaian yang patut diapresiasi secara luas,” pungkasnya dalam dialog bersama Indonesian Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), di Jakarta pada Jumat (10/11/2023).

Sayangnya, The Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) melalui penelitiannya menemukan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terendah dalam hal ketersediaan obat-obatan inovatif.

Studi tersebut menemukan hanya sembilan persen obat-obatan baru yang tersedia di Indonesia, jauh di bawah rata-rata kawasan Asia Pasifik yang mencapai 20 persen. Hal ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga terendah bersama dengan Bangladesh yang juga hanya sembilan persen setelah Sri Lanka (1 persen) dan Pakistan (5 persen).

Diskusi Layanan Kesehatan Bersama IPMG di Jakarta Convemtion Center, Jumat (10/11) (Dok.Istimewa)
Diskusi Layanan Kesehatan Bersama IPMG di Jakarta Convemtion Center, Jumat (10/11) (Dok.Istimewa)

Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa hanya satu persen obat-obatan baru yang tersedia di Indonesia dalam waktu satu tahun setelah peluncuran pertama kali secara global. Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan dalam menangani penyakit termasuk penyakit katastropik dibandingkan dengan negara-negara tetangganya.

Staf Khusus Menteri bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Prastuti Soewondo, S.E., M.PH., Ph.D, mengungkapkan, berdasarkan data BPJS Kesehatan dan klaim pasien di rumah sakit, kebanyakan kematian tertinggi berasal dari penyakit katastropik seperti kanker, jantung, stroke dan nefrologi, kemudian juga kesehatan ibu dan anak (KIA).

“Penyakit-penyakit ini merupakan penyakit tidak menular yang dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa dan membutuhkan biaya tinggi. Untuk penyakit-penyakit ini, adopsi obat inovatif dapat membantu mengurangi beban pasien, dan harus dilakukan secara bertahap dan sesuai kemampuan,” ucapnya dalam kesempatan yang sama.

Semua obat inovatif yang akan masuk ke JKN, kata dia harus masuk di FORNAS dan ada rekomendasi dari health technology assesment (HTA). HTA sendiri sudah mempunyai strategi perbaikan pelaksanaan kajian HTA untuk meningkatkan jumlah kajian HTA, sehingga lebih banyak rekomendasi yang bisa dihasilkan.

Metode analisisnya menggunakan adaptive HTA dan dalam prosesnya akan memperbanyak kerjasama dengan universitas dan pusat studi sebagai agen HTA tentunya melalui MOU.

Lebih lanjut Prastuti juga menyampaikan akses pasien terhadap obat-obatan inovatif ini dapat ditingkatkan melalui mekanisme Koordinasi Manfaat yang saat ini konsepnya tengah digodok bersama oleh seluruh pemangku kepentingan lintas lembaga termasuk pihak swasta.

Dalam dialog ini, Prastuti juga menyepakati bahwa investasi pada fasilitas dan sumber daya sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya tindakan pencegahan, diagnosis yang tepat waktu dan akurat, serta penyediaan pengobatan yang tepat dan sesuai.

Peningkatan pembiayaan kesehatan nasional sangat penting untuk keberlanjutan sistem kesehatan di masa depan. Oleh karena itu, ada kebutuhan yang semakin besar untuk meningkatkan kemitraan pemerintah-swasta dan memastikan adanya sumber daya yang memadai untuk memperkuat JKN.

 

Rekomendasi IPMG

Ani Rahardjo, Direktur Eksekutif IPMG, menegaskan kembali peran IPMG selaku perkumpulan 26 perusahaan farmasi multinasional berbasis riset dan pengembangan untuk memperkuat lanskap kesehatan. Mereka menggarisbawahi komitmen organisasi untuk mempromosikan layanan kesehatan yang berkelanjutan dan nilai inovasi.

“IPMG berdiri sebagai mitra yang berkomitmen untuk pemerintah Indonesia, secara aktif bekerja untuk memajukan kebijakan pro-pertumbuhan dan pro-inovasi demi mencapai Universal Health Coverage dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi pasien Indonesia,” kata dia. Disitat dari Suara.com.

Untuk memberikan obat-obatan inovatif kepada pasien dengan cara yang aman dan tepat waktu, IPMG membuat rekomendasi berikut ini:

• Mengadopsi pendekatan yang berpusat pada pasien untuk mendorong hasil kesehatan (health outcome) yang lebih baik, serta penghematan biaya langsung dan tidak langsung.

• Memperkuat sistem FORNAS untuk menilai obat-obatan (Health technology assessments/HTAs) agar dapat menangkap manfaat penuh dari terapi inovatif saat menilai harganya dan memastikan bahwa hasil kesehatan tidak terganggu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *